Perlu Kajian Mendalam Soal Peraturan Razia, Agar Walikota Serang Tidak "Dilema" Terkait Kasus Warteg Ibu Saeni

Ibu Saeni, korban razia Satpol PP Serang

bagiinformasi.click : Nama Kota Serang, Banten, kembali mencuat setelah kisah pemilik warung makan, Saeni, yang menangis ketika dagangannya disita aparat Satuan Polisi Pamongpraja Pemerintah Kota (Pemkot) Serang pada Rabu (8/6/2016) lalu, menjadi viral di media-media sosial.

Betapa tidak viral, Saeni menangis sambil memohon kepada aparat agar dagangannya tidak diangkut. Namun tangisan Saeni tak dihiraukan, aparat tetap mengangkut barang dagangannya. Kepala Satpol PP Maman Lutfi kepada Kompas TV mengatakan, warung tersebut kena razia karena buka siang hari dan melayani warga yang tidak puasa.

"(Razia) warung nasi dan restoran di Kota Serang yang buka, memberi makan pada orang yang tidak puasa," kata Maman.

Sebelumnya, Kota Serang menjadi perbincangan khalayak saat dinobatkan sebagai "Kota Islami paling Aman di Indonesia" oleh Maarif Institute pada 17 Mei 2016 silam.

Berdasarkan penelitian Indeks Kota Islami (IKI), Kota Serang, Banten, memiliki skor tertinggi 82,5 untuk variabel Aman. Serang mengalahkan kota-kota lainnya yakni Bengkulu, Yogyakarta, dan Bandung dengan skor 77,5. Sementara Padang Panjang, Banjarmasin, dan Ambon mengekori dengan nilai masing-masing 72,5.

Kota Serang dinilai aman karena memiliki indikator kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan, pemenuhan hak politik perempuan, hak anak dan difabel. Sontak penilaian tersebut mengundang polemik sebagian kalangan masyarakat. Forum-forum diskusi dalam portal-portal berita pun tak kalah riuh mempermasalahkan hasil IKI ini.

Nah, terkait dengan kasus razia warung nasi seperti disinggung di atas, anggapan Mahesa dan pendapat kontra lainnya, seakan mendapat konfirmasi bahwa label "kota islami paling aman di Indonesia" yang disematkan pada Kota Serang tidak benar alias bohong. Pengamat perkotaan yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro punya pandangan tersendiri.

Petugas Satpol PP Serang mengangkut barang dagangan ibu Saeni

Menurut dia, tidak elok membuat label kota berdasarkan agama atau kepercayaan. Alasannya, kurang universal. Lagipula kota adalah melting pot (tempat bertemu) yang pluralistik.

"Kota adalah kuali dari beragam budaya, kepentingan, tempat menggapai angan dan cita-cita. Bagi sebagian orang, kota adalah tempat untuk bertahan hidup," ujar Bernie, sapaan karib Bernardus kepada Kompas.com, Sabtu (11/6/2016). 

Kota itu, kata Bernie, adalah masyarakatnya sendiri. Oleh karenanya, perencanaan kota dilakukan untuk menciptakan kota yang nyaman ditempati (livable), manusiawi dan berkelanjutan. Dalam bahasa UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, untuk menciptakan ruang hidup yang aman, nyaman dan berkelanjutan.

"Ruang hidup bagi seluruh warganya tanpa kecuali," sebut Bernie.

Nilai-nilai universal dan standar detail tentang ukuran livability dalam ruang hidup, selalu dipakai dalam merencanakan kota. Ini juga yang dipakai dalam pedoman perencanaan kota yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tentang pedoman Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

"Labelisasi kota oleh berbagai pihak sah-sah saja, namun hendaknya tidak dipakai sebagai ukuran teknokratik penyusunan rencana dan struktur kota," tandas dia.

Bernie menuturkan, seharusnya seluruh warga kota termasuk Saeni berhak untuk mendapatkan pelayanan, baik dari kotanya maupun penyedia jasa lainnya. Kesempatan usaha pun di negeri ini sangat dijamin. Kendati, permasalahan sektor formal dan informal selalu mengakibatkan persoalan konflik berkaitan dengan pelaksanaan penegakkan aturan di lapangan.

"Nah, ketika aparat memberikan label tertentu pada kebijakan pelaksanaan di lapangan, seperti di Serang, sangat disayangkan. Karena seharusnya kota mengayomi, menciptakan ruang kota yang inklusif, dan nyaman," urai Bernie.

Terhadap kasus Saeni, Rais berpendapat, razia yang dilakukan Satpol PP Pemkot Serang adalah beawal dari niat dan himbauan supaya tercipta toleransi terhadap orang yang sedang berpuasa. Biasanya dalam pointer himbauan, ada batasan jam usaha atau dagang. Misalnya berjualan menjelang berbuka, atau melayani tapi secara tertutup (dengan gorden).

Namun sayangnya, proses edukasi tentang himbauan tersebut kurang dilaksanakan oleh jajaran Pemkot Serang. Dalam kasus Saeni yang mengatakan warungnya tertutup, kata Rais, harus disikapi lebih moderat. Pemkot Serang harus realistis, banyak masyarakat kecil yang karena bidang pekerjaannya, berat untuk berpuasa seperti kuli kasar, tukang becak, dan lain-lain. Bahkan mungkin ada musafir, atau non-muslim yang tetap harus makan.

Isu razia memang selalu kontroversial, mengingat orang kecil yang selalu jadi korbannya. Rais mempertanyakan, adakah pemilik restoran besar yang dirazia?



sumber berita : http://ramadhan.kompas.com/story/read/2016/06/11/224904121/polemik.razia.warung.nasi.pantaskah.serang.dilabeli.kota.islami.

Postingan terkait:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...