Berbagi Infromasi : Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono kembali membuka kisah masa lalu. Saat masih menjabat sebagai menteri di era Gus Dur, SBY mengaku lebih memilih mengundurkan diri karena tidak satu pandangan dengan presiden.
"Sebetulnya Presiden Abdurrahman Wahid, Januari 2001, sudah gusar. Terus dipojokkan, disalahkan oleh DPR. Saya, Gus Dur, dan Ibu Mega, bertiga kami berbincang-bincang. Ada masukan dari mana-mana untuk bekukan saja, bubarkan saja DPR. Tapi presiden tidak punya otoritas bubarkan DPR dan MPR," ungkap SBY.
Hal tersebut disampaikannya dalam Pelatihan Kader PD di Novotel Hotel, Bogor, Jumat (1/4/2016). SBY lalu menceritakan bahwa selama 5 bulan ia bersama Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri terus berdiskusi.
Hingga akhirnya Gus Dur mengeluarkan Dekrit. SBY tidak satu pandangan dengan keputusan tersebut. Kemudian ia pun dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Menko Koordinator bidang Politik Sosial Keamanan.
"Ini true story, saya disuruh pilih jabatan menteri yang mana saja. Saya pulang lalu tulis surat dan memilih mundur. Meski begitu saya tetap dekat dengan Gus Dur sampai akhir hayatnya. Beliau punya hak karena menterinya tidak satu pandangan dengan presidennya," jelas SBY.
"Itu etika politik. ini saya ceritakan, karena semua ada sistem," sambungnnya.
Presiden RI ke-6 itu tampaknya menceritakan hal tersebut karena merasa prihatin dengan kondisi kabinet saat ini. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu muncul kegaduhan publik karena ada sejumlah menteri saling serang di publik.
"Antara menteri saling argumentasi biasa. Di film juga ada. Tapi karena ada pakta integritas, selesaikan di dalam. Dan saya tidak boleh membiarkannya. Saya dengarkan dan mencoba mencari solusinya," kata SBY mengisahkan pengalamannya ketika menjadi Presiden.
Di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan II, suami Ani Yudhoyono itu menyebut tak pernah ada kegaduhan antar menteri. Masalah selesai di rapat kabinet dan tak jarang SBY yang mengambilkan keputusan.
"Kalau sudah seperti itu, ini keputusan saya. (Para menteri) 'yes sir'. Jalankan. Nggak boleh ngomong di luar. Jangan begitu ada keputusan presiden, langsung menterinya konferensi pers, (mengatakan) ini alasan keberatan saya," tutur jenderal purnawirawan itu.
"Tidak boleh presiden meresmikan proyek, menteri (bilang) 'saya kan belum izinkan'. Tidak boleh mempermalukan presiden. Kalau keberatan, bapak atau ibu, saya mengundurkan diri," imbuh SBY.
Dalam kesempatan itu, pria asal Pacitan ini juga mengingatkan tentang pentingnya menghormati lembaga negara. Entah lokasi mana yang dimaksud SBY, namun ia berharap agar pemerintahan saat ini lebih menghargai akan makna dan fungsi lembaga negara.
"Saya harap pak Jokowi memberi perhatian terhadap lembaga negara. Ini state dan fasilitas presiden. Tangan presiden untuk melaksanakan manajemen pemerintahan sesuai UUD dan UU. Tidak boleh lembaga terhormat jadi warung kopi," bebernya.
"Orang-orang bawa proposal hanya pakai sendal. Jangan jadi pasar yang punya kepentingan macam-macam. itu mengganggu presiden, negara, dan pemerintah. Entah itu relawan, fans, atau aktivis," tambah SBY.
Dia mengakui bahwa peranan relawan sangat penting ketika proses pemilihan presiden. Namun ketika sudah resmi memimpin negara, SBY mengatakan seharusnya kepentingan sejumlah golongan tidak lagi menjadi prioritas.
"Pasti ada relawan, but the day one, ketika dilantik, dia bukan lagi kandidat, yang harus bersama-sama ribuan fans dan relawan. Dia Presiden RI. Itu dijaga oleh siapapun, karena itu etika pemerintahan," tutup SBY.