bagiinformasi.com : Charlos Barahama, 64 tahun, dan Sopitje Salemburung, 60 tahun, orang tua kapten kapal Tugboat Brahma 12, Peter Townsen Barahama, yang kini jadi tawanan kelompok Abu Sayyaf di Filipina, berharap anaknya segera dibebaskan dalam keadaan selamat.
“Saya hanya meminta perusahaan dan pemerintah bisa cepat menyelesaikan negosiasi serta membuat anak saya bebas. Dan hanya doa yang kami kirim, agar para penyandera terketuk hatinya,” tutur Sopitje di Manado, Jumat (8/4).
Sopitje mengaku saat ini dihinggapi rasa ketakutan. Apalagi hari Jumat, 8 April 2016, merupakan batas akhir atau deadline yang diberikan kelompok Abu Sayyaf kepada pemerintah Indonesia untuk memenuhi permintaan uang tebusan.
Kapal Tugboat Brahma 12 dibajak kelompok Abu Sayyaf di Filipina pada Sabtu (26/3). Peter dan sembilan rekannya disandera di Sulu, Filipina selatan. Kapal bermuatan 7.500 ton batu bara itu dibajak di perairan Tawi-tawi, Filipina, saat berlayar dari Banjarmasin menuju Batangas, Filipina selatan.
Faksi Abu Sayyaf yang diduga menawan mereka adalah kelompok Tanum pimpinan Muammar Askali. Kapal itu akhirnya ditemukan di Malaysia. Kelompok tersebut meminta uang tebusan 10 juta peso atau sekitar 14,3 miliar rupiah.
Harapan yang sama juga diungkapkan Aidil, 55 tahun, ayah Wendi Rakhadian, seorang awak kapal Brahma 12 yang turut disandera kelompok Abu Sayyaf. Aidil juga mengaku cemas menanti deadline pembayaran tebusan dengan batas akhir kemarin.
Menurut Aidil, setiap hari dia mena nt i k a n kabar perkembangan penyelamatan anaknya melalui telepon seluler dan televisi. Setiap malam ia salat tahajud guna memohon agar anaknya bisa kembali berkumpul dengan keluarga di Kota Padang, Sumatera Barat. “Masih menunggu kabar. Sebagai orang tua, pasti kami harap-harap cemas,” ujarnya.
Aidil menjelaskan, Jumat, perusahaan pemilik kapal maupun pihak pemerintah belum menghubunginya. Terakhir Aidil dihubungi Kamis (7/4) siang. “Kemarin perusahaan hanya meminta keluarga tetap sabar dan berdoa,” katanya.
Informasi yang diperoleh, kata Aidil, pemilik kapal sedang bernegosiasi dengan perompak. “Perusahaan dan pemerintah sedang negosiasi soal tebusan itu,” tuturnya.
Aidil sempat mempertanyakan kepastian kepulangan Wendi yang merupakan anak sulungnya. Namun perusahaan pemilik kapal tidak bisa memastikan. Itu sebabnya, pihak keluarga Wendi menggantungkan harapan kepada perusahaan dan pemerintah. “Keluarga hanya bisa berdoa karena tak bisa berbuat apaapa,” ucapnya.
Batas Waktu
Di tempat terpisah, Sekretaris Kabinet Pramono Anung membenarkan bahwa batas waktu pembayaran tebusan untuk pembebasan 10 warga negara Indonesia pada Jumat (8/4). ”Informasi itu berkembang di awal bahwa (kelompok penyandera Abu Sayyaf ) memberi batas waktu seperti itu,” ujar Pramono di Istana, Jakarta, Jumat.
Namun, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum mendapatkan informasi apakah kesepuluh WNI itu berhasil dibebaskan.
“Tapi kenyataannya sekarang masih terjadi proses diplomasi yang kami sebut soft diplomasi dengan pemerintah Filipina. Kami mengharapkan mereka ada di depan untuk membantu menyelesaikan persoalan warga negara kita,” ujar dia.
Pramono mengatakan, pemerintah Indonesia hanya bisa menunggu upaya Filipina memembebaskan 10 WNI yang disandera itu. Pada dasarnya, pemerintah Indonesia memiliki teknologi untuk mendeteksi keberadaan 10 WNI itu. Namun, pemerintah Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa karena konstitusi Filipina tidak memperbolehkan masuknya militer negara lain tanpa persetujuan kongres.