Deretan nama politisi beken mewarnai pemberitaan seputar Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Salah satunya pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Ia mengaku serius ingin membenahi Jakarta.
Pencalonannya layak diperhitungkan mengingat pria kelahiran Manggar, Belitung Timur, 5 Februari 1956 itu, telah malang melintang di dunia politik Tanah Air. Berbagai jabatan pernah diraih Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid misalnya, dia menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (1999-2000). Berganti era Presiden Megawati Soekarnoputri, pakar hukum tata negara ini dipercaya menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan (2001-2004). Selanjutnya, ketika zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (2004-2007).
Kini, Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini hendak maju dalam pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Dia ingin mencalonkan diri menjadi calon gubernur (cagub) Jakarta. Untuk itu, suami Rika Tolentino Kato ini pun turun ke lapangan. Dia menyambangi warga, tokoh masyarakat, tokoh politik hingga beberapa bakal cagub Jakarta lainnya.
Kepada tim VIVA.co.id, awal pekan lalu, penulis naskah pidato Presiden Soeharto itu mengungkapkan alasannya maju dalam Pilgub Jakarta. Ditemui di kediamannya di kompleks Fatmawati Executive Golf Mansion, Cilandak, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu, Yusril yakin bisa meraih kursi DKI-1. Berikut ini petikan wawancaranya:
Bagaimana awalnya tercetus niat ikut Pilgub DKI?
Sebenarnya saya sudah lama mempelajari tentang Jakarta.Walaupun saya sendiri tidak berencana menjadi kepala daerah di sini (Jakarta). Tapi ide untuk pencalonan gubernur DKI baru pada 2 Februari 2016.
Apa yang mendorong Anda ingin bertarung di Pilgub DKI?
Kelihatannya memang ada masalah besar di DKI Jakarta yang mesti mendapatkan penanganan secara terencana sistematik, dan memang harus seseorang yang memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan mendasar DKI Jakarta. Seseorang yang punya ketegasan untuk mengambil keputusan di lapangan tapi tetap memelihara sopan santun.
Jadi saya melihat bahwa kalau sekiranya kepemimpinan itu diteruskan oleh petahana, maka keadaan kita ini akan makin kisruh. Karena tidak ada tindakan yang terencana dan sistematis, tindakannya tidak intensif. Yang ada tiap harinya ribut terus. Nah itu yang saya tidak inginkan terjadi di Jakarta. Itu juga salah satu faktor yang mendorong mengapa saya tertarik untuk maju dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta ini.
Saya punya ide dan gagasan yang sudah lama saya pikirkan. Berdasarkan pengalaman dalam pemerintahan, pemerintah pusat kesulitan menyelenggarakan kegiatan di ibu kota negara RI (Republik Indonesia). Sebenarnya, wilayah pusat pemerintahan RI memang di bawah kontrol pemerintah RI. Kenyataannya tidak. Kenyataan wilayah pemerintah pusat Istana saja. Keluar Istana itu sudah wilayah pemda (pemerintah daerah).
Begitu juga dengan pemerintah daerah itu sendiri menghadapi kesulitan membenahi Jakarta. Karena pertama, berhadapan dengan pemerintah pusat. Kedua berhadapan dengan pemerintah di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Ini menyebabkan persoalan-persoalan mendasar di Jakarta. Apalagi masuk ke sektor yang lebih kecil lagi, masalah pemukiman kumuh, banjir, sampah, kemacetan lalu lintas, pekerjaan sektor informal. Itu tidak terpecahkan sampai hari ini.
Gagasan saya beberapa tahun yang lalu, suatu ketika nanti Pemerintah Khusus DKI Jakarta itu dilikuidasi. Saya kira ini ide rasional yang enggak pernah dikemukakan oleh orang sebelumnya. Dulu pernah ada pikiran untuk menjadikan gubernur Jakarta menjadi gubernur Jabodetabek, tapi tidak kunjung terlaksana. Karena itu mencaplok sebagian wilayah Jawa Barat dan Banten dimasukkan ke dalam gubernur Jabodetabek itu.
Saya tidak akan mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten. Tapi melikuidasi Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta itu, sehingga Jakarta ditangani langsung oleh pemerintah pusat. Jakarta bukan lagi hanya milik warga Jakarta tapi Jakarta milik seluruh orang Indonesia. Inilah ibu kota negara kita.
Kalau orang dari daerah pergi ke Jakarta bukan ke ibu kota, ke daerah juga, daerah khusus ibu kota. Saya berpendapat istilah daerah khusus ibu kota Jakarta itu suatu istilah yang kontradiksio in tarminis. Itu yang mengandung pertentangan di dalamnya. Di satu pihak ini adalah ibu kota negara, di lain pihak dia pemerintah khusus ibu kota Jakarta. Ini kan tabrakan.
Pemerintah pusat juga tidak bisa berbuat banyak karena itu kewenangan gubernur menangani Jakarta. Sementara gubernur Jakarta sendiri kalau ingin menangani sesuatu, dia terbentur dengan pemerintah pusat. Terbentur juga dengan Pemerintah Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Banten.
Jadi lebih baik dilikuidasi saja. DKI Jakarta tidak ada lagi gubernur. Suatu ketika nanti Jakarta akan dipimpin oleh seorang menteri yang langsung tanggung jawab kepada Presiden. DPRD DKI juga tidak ada, dilikuidasi juga ke DPR. Yang ada itu menteri ibu kota sehingga di DPR pusat ada Komisi Ibu Kota. Dengan demikian persoalan-persoalan yang mendasar di Jakarta itu secara sitematik bisa diselesaikan.
Ini tentu tidak bisa segera. Ini butuh waktu paling tidak lima tahun mungkin bisa 10 tahun. Tapi bisa dipercepat 5 tahun.
Saya dalam hal ini, tidak lagi berteori. Teorinya saya paham betul. Teorinya di bidang hukum tata negara dan administrasi negara. Tapi dalam praktik saya pengalaman. Dalam menangani penyatuan departemen, memisahkan satu departemen menjadi dua. Saya pernah juga melepaskan kewenangan tiga departemen.
Kalau Jakarta berubah, bagaimana aturannya?
Saya lah yang bikin aturan itu. Saya dua kali membuat undang-undang pemerintah daerah, yaitu undang-undang (UU) tentang pembentukan Daerah Istimewa Aceh tahun 1958 diubah dengan UU tentang Nangroe Aceh Darussalam sebagai daerah otonomi khusus. Jadi soal merancang UU, saya minta maaf, bukan saya sombong. Mungkin sedikit orang yang punya pengalaman. Jadi menteri kehakiman saya membuat lebih 300 UU, termasuk UU KPK.
Nanti tidak ada lagi anggaran pemerintah DKI Jakarta, yang ada adalah APBN. Posnya adalah untuk pos ibu kota negara.
Untuk persiapan pencalonan Pilgub DKI, bagaimana?
Sekarang APBD DKI sekitar Rp70 triliun. Tahun sekarang realisasi anggaran terlalu rendah. Dari 35 provinsi, DKI Jakarta urutan ke 17. Kalau korupsi yang dirugikan negara. Kalau anggaran yang tidak terserap yang dirugikan rakyat. Saya warga DKI bayar pajak. Bayar pajak tanah saja Rp100 juta lebih dalam satu tahun. Pajak yang saya bayar itu bisa membantu orang-orang miskin.
Hal-hal penting seperti Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar akan tetap kita lanjutkan. Jadi jangan khawatir. Yang paling penting, yang bagus kita pertahankan. Bahkan yang dulu bagus tapi enggak dipakai akan kita hidupkan lagi.
Seperti yang dilakukan oleh Pak Harto (Presiden ke 2 RI) dulu, yaitu posyandu, nanti saya mau hidupkan kembali.