Berbagi Infromasi : Junedi Syamsudin (65) mengaku tangkapan hasil lautnya beberapa hari ini melimpah ruah. Bukannya senang, nelayan Natuna itu justru bingung dan sedih. Ia mengaku tangkapannya tak laku sejak kapal-kapal asing tak lagi melintasi wilayah itu.
"Sekarang ikan hasil tangkapan banyak, tapi kepada siapa harus menjual," ujar Junedi.
Hal senada diungkapkan nelayan Natuna lainnya, Rodhial Huda. Ia mengaku, pasca-insiden penangkapan kapal Tiongkok, ia kesulitan menjual ikan hasil tangkapannya karena tidak ada kapal-kapal asing yang datang langsung ke Natuna. Kedatangan kapal asing itu sangat membantu petani menghemat biaya transportasi.
"Nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapannya keluar, selain tidak punya akses juga mengeluarkan biaya transportasi yang mahal," kata Rodhial.
Rodhial menilai tidak semua kapal asing yang masuk ke perairan Natuna melakukan penangkapan ikan ilegal. Beberapa di antaranya memang berizin resmi dari Indonesia untuk berbisnis perikanan di Indonesia. Contohnya, kapal dari Hong Kong yang masuk dua minggu sekali untuk membeli ikan nelayan.
"Mereka masuk memiliki izin dan dokumen dari pemerintah Indonesia membeli ikan hidup hasil tangkapan nelayan sebanyak 15 hingga 20 ton dalam dua minggu," tutur Rodhial.
Tak hanya ikan tangkapan, pembeli luar negeri juga meminati hasil pembudidayaan ikan nelayan setempat. Harga belinya juga cukup tinggi, seperti kerapu macan dan kerapu karang yang dihargai Rp 120 ribu per kilogram dan kerapu tikus yang dihargai Rp 400 ribu per kg.
Maka itu, ia berharap pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, dapat memberi solusi dengan menyediakan kapal-kapal pengangkut ikan hasil tangkapan masyarakat atau sarana tempat bagi orang luar untuk membeli hasil nelayan.
"Kami berada di perbatasan. Untuk apa kekayaan laut melimpah kalau tidak bisa dinikmati bersama?" keluh Rodhial.