Musdah Mulia : Buat saya, maki-maki mereka nggak ada "efek"-nya


bagiinfromasi.com : Kecaman dan caci maki sudah bukan barang baru bagi Musdah Mulia. Sejak 20 tahun silam terlibat dalam upaya-upaya menyadarkan masyarakat tentang kesetaraan dan keadilan gender, berbagai tuduhan dan stigma dilemparkan padanya. Namun, itu tidak menyurutkan semangatnya untuk memperjuangkan apa yang sudah dia mulai.

“Saya pribadi menyadari, bahkan meyakini bahwa pemikiran-pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan gender, pemikiran-pemikiran yang demokratis, yang sejuk dan moderat, itu adalah esensi Islam. Saya yakin betul itu,” ujar perempuan kelahiran Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), 3 Maret 1958, kepada SH baru-baru ini, di kantornya yang dipenuhi kardus buku barunya “Mengupas Seksualitas”. 

Ketika SH menulis namanya di mesin pencari Google, artikel yang muncul lebih banyak yang “menyerang” daripada mendukung Musdah. “Mahasiswa saya, meng-Goggle nama saya, mereka itu sampai panas dingin. Aduh gimana sih, Ibu kok dimaki-maki,” ucapnya.

“Buat saya, maki-maki mereka itu nggak ada efeknya. Sepanjang saya tidak di-attack (serang) secara fisik, buat saya nggak masalah,” ujar Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), organisasi lintas iman ini.

Sebagai orang yang dibesarkan di pesantren, Musdah mempelajari pandangan-pandangan tradisional yang tidak mengajarkan perlunya interaksi satu sama lain, perlunya pluralisme. Sebaliknya, Musdah dilahirkan dari keluarga yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan gender dan demokrasi. Dia menuturkan tindakan neneknya yang menyekolahkan keempat anak perempuannya di pesantren di Kota Pare-pare, Sulsel. “Waktu itu tahun 1920-an belum ada perempuan yang berani sekolah ke kota,” tuturnya. 

Ilustrasi, salah satu bentuk protes masyarakat terhadap Musdah Mulia

Banyak orang kampung mengutuk tindakan neneknya. “Gimana sih, kok anak perempuan dikirim jauh-jauh ke kota, sekolah. Nggak takut hamil?” Musdah mencontohkan cemoohan yang diterima neneknya kala itu. “Saya ingat jawaban nenek saya, ‘Kok kamu pusing, itu kan anak saya. Kalau ada apa-apa, yang susah kan saya sendiri. Jadi, kalian nggak usah banyak bicaralah,’” tutur Musdah soal keberanian neneknya.

Sementara itu, ibunya, Buaidah Ahmad, adalah orang pertama yang tamat dari pesantren. Ia juga perempuan pertama di desanya yang berani berceramah di masjid ketika bulan Ramadan. Di rumah, ibunya tidak memperlakukan anak laki-laki dan perempuan dengan berbeda. Baik laki maupun perempuan sama-sama harus bisa masak, mencuci pakaian, dan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. 

“Jadi, buat saya, pengalaman di masa lalu, meskipun saya tidak dilahirkan dari keluarga yang tradisional seperti itu, karena saya keluar dari pendidikan yang sangat tradisional dari pesantren, saya merasakan bahwa itu perlu diubah,” tutur Direktur Pelaksana Megawati Institute ini.

Musdah mengakui, perjuangannya untuk kesetaraan justru mendapat penolakan dari kaum hawa. “Kenapa? Karena mereka tidak tahu bahwa sebagai perempuan mereka punya hak untuk berdiri sejajar,” katanya. “Mengajarkan tentang kesetaraan gender itu menggugah kesadaran kemanusiaan perempuan bahwa kalian itu adalah warga negara. Kalian itu tidak bisa tinggal diam saja,” tuturnya.

Postingan terkait:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...