Dia (Musdah) Mengaku Terinspirasi Oleh Perjuangan Para Nabi.

   ilustrai masyarakat "kecam" perihal teori dan pemikiran Musdah

bagiinformasi.com : Dia yakin banyak perempuan dengan cemerlang di luar sana yang meyakini pandangan yang sama dengan dirinya. Namun, perempuan itu tidak berani keluar untuk mengekspresikan pendapat-pendapat mereka. “Sayangnya nggak banyak orang yang mau seperti saya, ngambil risiko,” ujarnya. 

Dia tidak mau lelah bicara tentang pluralisme. Berbicara tentang pluralisme, ia melanjutkan, tidak hanya menerima orang lain apa adanya, tetapi juga menghormati, mengakui hak-hak, dan melindungi mereka.

“Kenapa orang seperti saya begitu peduli pada kelompok-kelompok minoritas, bukan hanya minoritas berbeda agama, melainkan juga dalam Islam sendiri, seperti kelompok Ahmadiyah dan Syiah? Buat saya, apa pun mereka, mereka adalah warga negara Indonesia. Tidak boleh mereka mengalami ketidakadilan hanya karena perbedaan-perbedaan tersebut,” ucap peraih The Ambassador of Global Harmony 2014 dari Anand Ashram Foundation karena memperjuangan pluralisme dan hak kebebasan beragama di Indonesia ini.

Menurut Musdah, suaminya Ahmad Thib Ahmad Thib Raya, guru besar dari Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, juga memiliki pemikiran-pemikiran yang liberal dan moderat seperti dirinya. Bedanya, sang suami tidak mau membicarakan isu-isu yang tabu di ruang publik, tapi membahasnya di ruang kelas. 

“Suami saya memilih tidak (bicara secara frontal), seperti kebanyakan intelektual muslim di Indonesia, lebih banyak memilih zona nyaman begitulah,” ucap perempuan pertama yang meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di UIN Jakarta ini.

Musdah tak gentar memilih jalan yang terjal. Dia mengaku menyambut undangan-undangan dari kelompok yang berseberangan, meski Musdah tahu bahwa dia diundang untuk diadili.  “Namun, ketika saya datang, terus terang rata-rata kelompok radikal itu tidak memiliki pandangan yang dalam tentang agama. Mereka tidak punya pandangan yang terstruktur dan sistemik,” katanya.

Ilustrasi Musdah dan para pemikir kontroversi

Banyak juga orang yang membenci pemikirannya tanpa pernah sekali pun membaca buku-buku atau tulisan-tulisannya. Karena itu, kehadirannya pada acara yang digelar kelompok-kelompok yang berseberangan sekaligus menjadi tempat dia bisa mengutarakan pemikirannya secara utuh, meski dia tahu juga tidak mudah bicara pada orang yang sudah dicekoki pandangan-pandangan yang berbeda dengannya.

Dosen agama Islam yang juga penulis buku ini menerima ribuan pesan teks singkat dan surat elektronik yang berisi caci maki. “Hal yang paling menyedihkan bagi saya, itu dilakukan atas nama agama. Bagaimana orang berbicara tentang Tuhan dan agama, tapi menggunakan kalimat-kalimat vulgar, yang membacanya sendiri, betul-betul sadis ya,” kata perempuan pertama yang dikukuhkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan di Kementerian Agama (1999).

Lagi-lagi hal tersebut tidak melambankan kiprahnya. “Kita nggak pernah berhenti, apa pun yang orang katakan, distigma dan dimaki apa pun,” tuturnya. Dia juga mengaku terinspirasi oleh perjuangan para nabi. “Memang itulah tugas-tugas profetik kita sebagai manusia, mengajak mereka untuk kebaikan. Kalaupun mereka menerima dengan penolakan, caci maki, buat saya nggak apa-apalah,” ucapnya.

“Saya ingin mengatakan kepada semua orang bahwa kebinekaan Indonesia itu bukan masalah. Kita bisa merajut persatuan, bahkan juga kedamaian melalui interaksi yang harmonis dengan semua kelompok yang berbeda di negeri ini,” ujar peraih Yap Thiam Hien Human Rights Award 2008 ini.

Postingan terkait:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...